Utsmani (. - 1923)
Turki (1923. -. )
Selasa, 11 April 2017
Selasa, 28 Maret 2017
Siapa itu Mullah?
Mullah (Bahasa Persia: ملا ) adalah salah suatu gelar yang biasa diberikan kepada seorang ulama agama Islam. Gelar ini berasal dari kata bahasa Arab mawla atau maula, yang dapat berarti 'pemimpin' maupun 'pelindung'. Di sebagian besar wilayah di Iran, Turki, Asia Tengah dan anak benua India, adalah hal yang umum untuk memberikan gelar Mullah kepada pemuka agama atau pengurus masjid setempat. Dalam pemakaiannya di media massa, penyebutan gelar ini dapat mencerminkan penghormatan atas seorang yang terpelajar di bidang agama (pemakaian dalam dunia Islam); atau cenderung mengesankan sebagai seorang yang fanatik (pemakaian dalam sebagian media massa Barat)
Rabu, 08 Februari 2017
Pengamat Timur Tengah: Rangkul Para Ulama dan Akademisi
MONITORDAY.com, Jakarta - Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI) Dr. Muhammad Luthfi Zuhdi menuturkan, ada dua elemen masyarakat yang tak boleh ditinggalkan dalam upaya pencegahan terorisme di Indonesia. Dua elemen itu adalah para ulama dan akademisi.
Menurut Luthfi, peran dua elemen masyatakat itu sangat penting, bahkan bisa dibilang mereka adalah kunci paling ampuh untuk mencegah paham radikalisme yang menjurus ke terorisme. Sebab itu, Luthfi berharap dua elemen itu dirangkul. "Ulama dan akademisi harus dirangkul dan dilibatkan secara nyata dalam pencegahan terorisme di Indonesia," tuturnya di Jakarta, Kamis (3/3).
Lebih lanjut dikatakan, dua elemen tersebut masing-masing punya peran penting membangun bangsa. Mislanya, para ulama membangun generasi yang agamis sedangkan peran akademisi menguatkan sisi nasionalisnya.
"Kalau berbicara penanggulangan paham radikalisme terorisme, khususnya terhadap generasi muda kita akan berbicara lingkungan pesantren, masjid, dan perguruan tinggi," paparnya.
Sebab itu, Luthfi berharap para ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para akademisi di berbagai perguruan tinggi bergandengan tangan membantu melakukan pencegahan terorisme di Indonesia. Para ulama diharapkan memberikan pemahaman yang benar tentang agama Islam rahmatan lil alamin. "Sedangkan para akademisi menguatkan ideologi Pancasila kepada generasi muda," tandasnya.
Menurutnya, ancaman terorisme sekarang ini semakin nyata sehingga harus ada pemahaman yang sama untuk mencegahnya. Ia menambahkan, selama ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melakukan berbagai upaya untuk membentengi bangsa ini dari propaganda radikalisme dan ancaman terorisme. Tapi itu dirasa belum cukup, tanpa keterlibatan lembaga terkait, Ormas, dan semua unsur masyarakat didalamnya.
"Semua harus sinkron dan tidak boleh jalan sendiri-sendiri. MUI, NU, Muhammadiyah harus dilibatkan secara nyata. Kerjasama antar lembaga ini harus dilakukan sejak awal agar semuanya berjalan konkrit, termasuk persiapan pembiayaannya," kata Lut
Secara pribadi, Luthfi mengaku siap mendukung pelaksanaan program ini. Ia yakin para akademisi di seluruh Indonesia yang berkompeten pada masalah ini, juga mendukung program ini. Yang penting, BNPT sebagai lembaga yang bertugas sebagai koordinator pencegahan terorisme di Indonesia, terus memperbanyak dan mempererat hubungan dengan semua pihak yang terkait."Seperti penguatan melalui pesantren dan lembaga pendidikan, jangan hanya dilakukan observasi atau penelitian saja, tapi langsung dirangkul menjadi mitra dan dilakukan secara berkesinambungan. Artinya, ada komunikasi langsung antara BNPT dengan pesantren dan lembaga pendidikan, sehingga komunikasi tidak hanya dilakukan saat ada kegiatan resmi saja," ujar Luthfi.
Bisa juga, kata Luthfi koordinasi itu dilakukan dalam acara-acara yang sifatnya tidak resmi seperti saat perayaan hari besar baik agama maupun . Ia yakin dengan begitu pencegahan paham radikalisme terorisme, melalui pesantren dan lembaga pendidikan akan lebih masif.
Hal lain yang bisa dilakukan dalam pencegahan ini adalah merangkul pihak-pihak yang selama ini dianggap radikal. "Mereka bangsa kita, mereka juga harus diajak bicara. Saya yakin mereka juga punya nasionalisme, meski dilakuan dengan cara mereka. Apalagi mereka lahir dan besar di Indonesia tentu juga ingin memiliki Indonesia sepenuhnya meski dengan cara yang berbeda. Dari situ kita pelan-pelan membawa mereka kembali ke ajaran yang benar, baik dari sisi agama maupun nasionalisme," tukas Luthfi. (Siswanto)
Menurut Luthfi, peran dua elemen masyatakat itu sangat penting, bahkan bisa dibilang mereka adalah kunci paling ampuh untuk mencegah paham radikalisme yang menjurus ke terorisme. Sebab itu, Luthfi berharap dua elemen itu dirangkul. "Ulama dan akademisi harus dirangkul dan dilibatkan secara nyata dalam pencegahan terorisme di Indonesia," tuturnya di Jakarta, Kamis (3/3).
Lebih lanjut dikatakan, dua elemen tersebut masing-masing punya peran penting membangun bangsa. Mislanya, para ulama membangun generasi yang agamis sedangkan peran akademisi menguatkan sisi nasionalisnya.
"Kalau berbicara penanggulangan paham radikalisme terorisme, khususnya terhadap generasi muda kita akan berbicara lingkungan pesantren, masjid, dan perguruan tinggi," paparnya.
Sebab itu, Luthfi berharap para ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para akademisi di berbagai perguruan tinggi bergandengan tangan membantu melakukan pencegahan terorisme di Indonesia. Para ulama diharapkan memberikan pemahaman yang benar tentang agama Islam rahmatan lil alamin. "Sedangkan para akademisi menguatkan ideologi Pancasila kepada generasi muda," tandasnya.
Menurutnya, ancaman terorisme sekarang ini semakin nyata sehingga harus ada pemahaman yang sama untuk mencegahnya. Ia menambahkan, selama ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melakukan berbagai upaya untuk membentengi bangsa ini dari propaganda radikalisme dan ancaman terorisme. Tapi itu dirasa belum cukup, tanpa keterlibatan lembaga terkait, Ormas, dan semua unsur masyarakat didalamnya.
"Semua harus sinkron dan tidak boleh jalan sendiri-sendiri. MUI, NU, Muhammadiyah harus dilibatkan secara nyata. Kerjasama antar lembaga ini harus dilakukan sejak awal agar semuanya berjalan konkrit, termasuk persiapan pembiayaannya," kata Lut
Secara pribadi, Luthfi mengaku siap mendukung pelaksanaan program ini. Ia yakin para akademisi di seluruh Indonesia yang berkompeten pada masalah ini, juga mendukung program ini. Yang penting, BNPT sebagai lembaga yang bertugas sebagai koordinator pencegahan terorisme di Indonesia, terus memperbanyak dan mempererat hubungan dengan semua pihak yang terkait."Seperti penguatan melalui pesantren dan lembaga pendidikan, jangan hanya dilakukan observasi atau penelitian saja, tapi langsung dirangkul menjadi mitra dan dilakukan secara berkesinambungan. Artinya, ada komunikasi langsung antara BNPT dengan pesantren dan lembaga pendidikan, sehingga komunikasi tidak hanya dilakukan saat ada kegiatan resmi saja," ujar Luthfi.
Bisa juga, kata Luthfi koordinasi itu dilakukan dalam acara-acara yang sifatnya tidak resmi seperti saat perayaan hari besar baik agama maupun . Ia yakin dengan begitu pencegahan paham radikalisme terorisme, melalui pesantren dan lembaga pendidikan akan lebih masif.
Hal lain yang bisa dilakukan dalam pencegahan ini adalah merangkul pihak-pihak yang selama ini dianggap radikal. "Mereka bangsa kita, mereka juga harus diajak bicara. Saya yakin mereka juga punya nasionalisme, meski dilakuan dengan cara mereka. Apalagi mereka lahir dan besar di Indonesia tentu juga ingin memiliki Indonesia sepenuhnya meski dengan cara yang berbeda. Dari situ kita pelan-pelan membawa mereka kembali ke ajaran yang benar, baik dari sisi agama maupun nasionalisme," tukas Luthfi. (Siswanto)
Mengapa Imigran ke Eropa bukan ke Timur Tengah?
Jakarta, CNN Indonesia
--
Ketika Eropa mengalami banjir imigran dari Suriah,
negara-negara Timur Tengah yang secara geografis dekat dan memiliki
perekonomian kuat, justru kering pengungsi.
Menurut seorang pengamat Timur Tengah dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi, salah satu alasan utama "kekeringan" ini adalah konflik geopolitik yang terjadi di negara-negara Teluk sejak berabad-abad silam.
"Di Timur Tengah, selalu ada konflik Sunni-Syiah. Ketika datang pengungsi dari Suriah yang mayoritas Syiah, negara-negara Arab, seperti Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, takut ada infiltrasi ideologi yang bergeser dari Syiah," ujar Zuhairi kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).
Merujuk pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Suriah sendiri sebenarnya populasi dipadati oleh 88 persen kelompok Muslim Sunni. Namun, panggung politik dikuasai oleh kaum Syiah.
Saat Arab Spring pada 2011, rakyat Suriah akhirnya bergerak, menggelar aksi-aksi damai untuk menurunkan rezim Presiden Bashar al-Assad dari panggung politik. Demonstrasi yang awalnya damai mulai digoyang aksi anarkis. Sejak saat itu, menjamurlah kelompok-kelompok bersenjata di Suriah, termasuk ISIS.
Para imigran yang kini bergerak menuju Eropa, sebenarnya hijrah untuk menghindari kekejaman rezim Syiah. Namun menurut Zuhairi, masyarakat negara-negara Arab tetap khawatir adanya penyusupan nilai-nilai Syiah.
"Mereka takut ada infiltrasi ideologi di tengah pengungsi," katanya.
Selain konflik geopolitik, kata Zuhairi, negara-negara Timur Tengah pun tidak siap membendung gelombang pengungsi. Mengacu pada data komisi pengungsi PBB, UNHCR, sekitar empat juta warga Suriah mengungsi ke lebih dari 100 negara di seluruh penjuru dunia.
"Negara-negara di Arab itu jumlah penduduknya hanya sedikit. Mereka tidak siap menampung jumlah pengungsi hingga jutaan. Itu banyak, lho," tutur Zuhairi.
Ketidaksiapan negara-negara Arab ini, menurut Zuhairi, memiliki sejarah panjang. "Sejak dulu, negara Arab memang tidak punya budaya menerima pengungsi. Dalam sejarah, mereka hanya pernah menerima pengungsi dari Palestina yang sampai jutaan," kata Zuhairi.
Data UNHCR juga menunjukkan bahwa pada 1991, ketika warga Kuwait lari dari konflik dengan Irak di bawah Saddam Hussein, Arab Saudi hanya menampung ratusan ribu pengungsi.
Terkait dengan tingginya arus imigran saat ini ke benua Eropa, Zuhairi mengatakan ada alasan lain di balik itu.
"Perlakuan orang Eropa dan Amerika terhadap para pengungsi memang lebih baik dan menarik. Para pengungsi juga lebih memilih untuk ke Eropa daripada Timur Tengah," kata Zuhairi.
UNHCR menunjukkan sedikitnya 366 ribu imigran sudah menyeberangi laut mediterania ke Eropa. Mayoritas menuju Eropa Barat, seperti Jerman, negara penampung pengungsi terbanyak. Pada akhir pekan lalu saja, Jerman menerima 18 ribu pengungsi.
Dilaporkan CNN, Jerman memiliki daya tarik sangat kuat bagi para pengungsi karena tiga pilar penting, yaitu demokrasi kuat, sejarah panjang penerimaan imigran, dan stabilitas ekonomi.
Baru-baru ini, pemerintah Jerman memutuskan untuk menggelontorkan anggaran tambahan sebesar 3 miliar euro untuk negara bagian dan kota-kota dalam mengatasi pengungsi. Tak hanya itu, pemerintah juga berencana mengeluarkan tiga miliar euro lagi untuk tunjangan kesejahteraan pengungsi.
Jerman diprediksi bakal menerima 800 ribu aplikasi permintaan suaka dari para pengungsi.
Tak hanya pemerintah, warga Jerman juga menyambut para pengungsi dengan tangan terbuka. Menurut sebuah penelitian yang digagas perusahaan penyiaran ARD, 88 persen warga Jerman mau menyumbangkan pakaian atau uang bagi pengungsi, sementara 67 persen lainnya bahkan ingin turun tangan langsung membantu secara sukarela.
Namun Michael Stephens, analis dari Middle East studies and Head of Rusi Qatar, menulis di BBC pada Senin (7/8), bahwa negara-negara Teluk bukannya berdiam diri melihat arus pengungsi Suriah. Aliran dana organisasi maupun sumbangan individu yang ditujukan bagi krisis Suriah, menurut Stephens, bahkan mencapai angka sekitar US$900 juta.
Senada dengan Zuhairi, Stephen juga menekankan bahwa ketakutan akan instabilitaslah yang membuat negara-negara Teluk enggan mengeluarkan kebijakan eksplisit terkait imigran hingga sekarang. (stu)
sumber : cnn.com
Menurut seorang pengamat Timur Tengah dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi, salah satu alasan utama "kekeringan" ini adalah konflik geopolitik yang terjadi di negara-negara Teluk sejak berabad-abad silam.
"Di Timur Tengah, selalu ada konflik Sunni-Syiah. Ketika datang pengungsi dari Suriah yang mayoritas Syiah, negara-negara Arab, seperti Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, takut ada infiltrasi ideologi yang bergeser dari Syiah," ujar Zuhairi kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).
Merujuk pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Suriah sendiri sebenarnya populasi dipadati oleh 88 persen kelompok Muslim Sunni. Namun, panggung politik dikuasai oleh kaum Syiah.
Saat Arab Spring pada 2011, rakyat Suriah akhirnya bergerak, menggelar aksi-aksi damai untuk menurunkan rezim Presiden Bashar al-Assad dari panggung politik. Demonstrasi yang awalnya damai mulai digoyang aksi anarkis. Sejak saat itu, menjamurlah kelompok-kelompok bersenjata di Suriah, termasuk ISIS.
Para imigran yang kini bergerak menuju Eropa, sebenarnya hijrah untuk menghindari kekejaman rezim Syiah. Namun menurut Zuhairi, masyarakat negara-negara Arab tetap khawatir adanya penyusupan nilai-nilai Syiah.
"Mereka takut ada infiltrasi ideologi di tengah pengungsi," katanya.
Selain konflik geopolitik, kata Zuhairi, negara-negara Timur Tengah pun tidak siap membendung gelombang pengungsi. Mengacu pada data komisi pengungsi PBB, UNHCR, sekitar empat juta warga Suriah mengungsi ke lebih dari 100 negara di seluruh penjuru dunia.
"Negara-negara di Arab itu jumlah penduduknya hanya sedikit. Mereka tidak siap menampung jumlah pengungsi hingga jutaan. Itu banyak, lho," tutur Zuhairi.
Ketidaksiapan negara-negara Arab ini, menurut Zuhairi, memiliki sejarah panjang. "Sejak dulu, negara Arab memang tidak punya budaya menerima pengungsi. Dalam sejarah, mereka hanya pernah menerima pengungsi dari Palestina yang sampai jutaan," kata Zuhairi.
Data UNHCR juga menunjukkan bahwa pada 1991, ketika warga Kuwait lari dari konflik dengan Irak di bawah Saddam Hussein, Arab Saudi hanya menampung ratusan ribu pengungsi.
Terkait dengan tingginya arus imigran saat ini ke benua Eropa, Zuhairi mengatakan ada alasan lain di balik itu.
"Perlakuan orang Eropa dan Amerika terhadap para pengungsi memang lebih baik dan menarik. Para pengungsi juga lebih memilih untuk ke Eropa daripada Timur Tengah," kata Zuhairi.
UNHCR menunjukkan sedikitnya 366 ribu imigran sudah menyeberangi laut mediterania ke Eropa. Mayoritas menuju Eropa Barat, seperti Jerman, negara penampung pengungsi terbanyak. Pada akhir pekan lalu saja, Jerman menerima 18 ribu pengungsi.
Dilaporkan CNN, Jerman memiliki daya tarik sangat kuat bagi para pengungsi karena tiga pilar penting, yaitu demokrasi kuat, sejarah panjang penerimaan imigran, dan stabilitas ekonomi.
Baru-baru ini, pemerintah Jerman memutuskan untuk menggelontorkan anggaran tambahan sebesar 3 miliar euro untuk negara bagian dan kota-kota dalam mengatasi pengungsi. Tak hanya itu, pemerintah juga berencana mengeluarkan tiga miliar euro lagi untuk tunjangan kesejahteraan pengungsi.
Jerman diprediksi bakal menerima 800 ribu aplikasi permintaan suaka dari para pengungsi.
Tak hanya pemerintah, warga Jerman juga menyambut para pengungsi dengan tangan terbuka. Menurut sebuah penelitian yang digagas perusahaan penyiaran ARD, 88 persen warga Jerman mau menyumbangkan pakaian atau uang bagi pengungsi, sementara 67 persen lainnya bahkan ingin turun tangan langsung membantu secara sukarela.
Namun Michael Stephens, analis dari Middle East studies and Head of Rusi Qatar, menulis di BBC pada Senin (7/8), bahwa negara-negara Teluk bukannya berdiam diri melihat arus pengungsi Suriah. Aliran dana organisasi maupun sumbangan individu yang ditujukan bagi krisis Suriah, menurut Stephens, bahkan mencapai angka sekitar US$900 juta.
Senada dengan Zuhairi, Stephen juga menekankan bahwa ketakutan akan instabilitaslah yang membuat negara-negara Teluk enggan mengeluarkan kebijakan eksplisit terkait imigran hingga sekarang. (stu)
sumber : cnn.com
Langganan:
Postingan (Atom)